PEMERINTAHAN - Bayangkan ini: sebuah bangsa besar dengan potensi tak terbatas. Negeri yang kaya raya, baik di darat maupun di laut. Sebuah visi yang digembar-gemborkan, "Indonesia Emas 2045", ketika kita merayakan 100 tahun kemerdekaan dengan penuh kejayaan. Namun, apakah kita benar-benar sedang melangkah ke arah sana? Atau justru mundur, tersesat dalam lingkaran masalah yang tak berujung?
Kenyataannya, Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius. Potret buram pengelolaan negara terlihat di mana-mana. Korupsi seolah menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pelaku korupsi besar, yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, hanya menerima hukuman ringan. Di sisi lain, rakyat kecil yang mencuri demi sesuap nasi malah dihukum berat. Ketidakadilan ini membuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum semakin pudar.
Baca juga:
Iwan Fals: Perubahan Bukan Pergantian
|
Biaya Pendidikan yang Melangit
Edukasi adalah kunci masa depan, namun akses terhadap pendidikan berkualitas semakin sulit. Biaya kuliah melonjak tinggi, menutup pintu bagi banyak anak muda berbakat dari keluarga kurang mampu. Ironisnya, janji-janji pendidikan gratis atau subsidi besar hanya menjadi ucapan manis saat kampanye. Setelah itu? Realitas berkata lain. Generasi yang diharapkan menjadi tulang punggung Indonesia Emas justru terancam kehilangan kesempatan untuk berkembang.
Sumber Daya Alam yang Dikeruk Tanpa Peduli
Kekayaan alam Indonesia memang melimpah, namun pengelolaannya menyakitkan hati. Perusahaan-perusahaan besar, kebanyakan dikuasai swasta atau asing, mengeruk habis kekayaan ini tanpa memberikan manfaat langsung kepada rakyat. Hutan-hutan habis ditebang, tambang-tambang dikelola secara serampangan, sementara masyarakat di sekitarnya tetap miskin. Bahkan konflik agraria sering kali menjadi berita harian, ketika rakyat kecil digusur dari tanah yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun.
Petani dan Nelayan yang Terpinggirkan
Di sektor pertanian, petani kita terus menderita. Produk lokal kalah bersaing dengan impor yang membanjiri pasar. Kebijakan pertanian sering kali tidak berpihak pada mereka. Harga pupuk mahal, irigasi buruk, dan hasil panen dihargai rendah. Sementara itu, sektor kelautan—yang seharusnya menjadi kekuatan Indonesia sebagai negara maritim—hanya menjadi slogan kosong. Nelayan tradisional kesulitan melaut karena peralatan minim dan aturan yang tumpang tindih.
Kesehatan Mahal, Rakyat Menderita
Pelayanan kesehatan yang mahal adalah masalah lain. Orang sakit sering kali dihadapkan pada dua pilihan: menggadaikan harta benda atau membiarkan penyakit memburuk. Jaminan kesehatan pemerintah yang digembar-gemborkan nyatanya sering kali tidak mencakup kebutuhan medis dasar. Masyarakat miskin hanya bisa berharap pada nasib.
Politik Uang dan Janji Kosong
Politik kita pun semakin kehilangan arah. Politik uang sudah menjadi rahasia umum. Pemimpin yang terpilih bukan lagi berdasarkan kapasitas, tapi seberapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk membeli suara. Ketika janji-janji kampanye tak terpenuhi, tidak ada rasa malu atau tanggung jawab. Kebohongan politik dianggap biasa, dan rakyat dipaksa menerima kenyataan ini sebagai hal normal.
Penegakan Hukum yang Tebang Pilih
Hukum tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan alat kekuasaan. Penegakan hukum sering kali tebang pilih, tergantung siapa yang terlibat. Aparat hukum dengan arogansi memperlihatkan kekuatan mereka, namun sering kali abai terhadap keadilan. Ketimpangan ini membuat rakyat semakin frustrasi.
KKN di Semua Tingkat
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tidak hanya terjadi di pusat kekuasaan. Dari tingkat desa hingga tingkat nasional, praktik ini sudah mendarah daging. Dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering kali dikorupsi oleh oknum-oknum setempat. Akibatnya, pembangunan di tingkat akar rumput terhambat.
Kepedulian yang Hilang
Di tengah semua ini, kepedulian terhadap masyarakat miskin semakin pudar. Program-program bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran, atau bahkan digunakan untuk kepentingan politik. Sementara itu, rakyat yang membutuhkan hanya bisa berharap pada uluran tangan yang kadang tak pernah datang.
Jika semua ini terus dibiarkan, apa yang akan terjadi pada mimpi besar kita? Apakah Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi dongeng kosong yang berakhir menyakitkan? Saatnya kita bertanya, apakah kita ingin melanjutkan jalan ini, atau bangkit, bersama-sama memperbaiki apa yang salah? Masa depan ada di tangan kita, dan waktu untuk bertindak adalah sekarang.
Jakarta, 26 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi